Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga raja pengemis ini
dapat mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita
itu. "Akulah Ratu Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk
hidup di dalam gedungmu, semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong.
Aku harus membunuhmu berlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."
Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras
itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan semua rasa
jerih dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa
engkau memusuhi Pat-jiu Kai-ong?"
Pat-jiu Kaiong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga
engkau tidak dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan
ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di kaki pegunungan Jenghoa-san sepuluh
tahun yang lalu?"
Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san
sebelum dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat
mengenal wajah ini, wajah cantik yang pernah merintih-rintih dan memohon
pembebasan, namun yang dia permainkan secara kejam.
"Kau... kau... Cap-she Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu.
"Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua
belas orang suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?"
Pat-jiu Kai-ong tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang
telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap-sha
Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam
ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut?
"Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat
kepadamu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu?
Ha-ha-ha, betapa mesranya!" Jahanam! Kematian sudah di depan mata dan kau
masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah pembalasanku,
aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!"
"Perempuan sombong, mampuslah!"
Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya melakukan penyerangan
dengan dahsyat, menusukan tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu
kalau tidak depat wanita itu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis.
"Trakk!"
Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong. Ternyata lawannya
ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang yang
tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan lain adalah The Kwat Lin
yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri Raja Pulau Es, Han
Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri, di
bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah
menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong
dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas permintaan The
Kwat Lin.
Karena itu, biarpun ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat
Lin tidak menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi
tongkat dan memang kedua ujung lengan baju ini yang merupakan sepasang senjata
yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan
kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka, untuk meninggalkan
Pulau Es. Hal ini sudah bertahun-tahun dia citacitakan. Dia menjadi istri Han
Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah
menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau Es dan benda-benda
berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau,
tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka
tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es yang membosankan itu, jauh
dari dunia ramai?
Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu
suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya
yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi
kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil
mendarat. Berbulan-bulan dia menyelidiki dan akhirnya dia dapat menemukan
tempat tinggal musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah
menyembunyikan puteranya, dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi
Liang dan Swi Nio, dia tertarik sekali, maka dia menculik mereka dan membawa
mereka ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya.
"Kalian kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua
menjadi muridku ," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal
kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena
kalian berada di gedung Pat-jiu Kai-ong. karena sekarang belum malam, maka
kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana.
Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?"
Tentu saja dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan
calon Subo (ibu guru) mereka.
"Harap subo sudi menolong Ayah kami...." kata Swi Liang.
"Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu,
kita lihat saja nanti."
The Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian
mulailah dia turun tangan membunuh-bunuhi semua binatang peliharaan gedung raja
Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan Lojin
dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh semua orang di dalam gedung
itu, apalagi dia tahu bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi
penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya.
Akhirnya dia keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di
hutan. Akhirnya bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya
itu setelah membunuh semua orang di dalam gedung.
Han Bu Ong anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di
kursi dan menonton pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia
sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian
ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan
kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman
yang terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira!
Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama lima puluh
jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung
lengan baju lawannya. Bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya dan biarpun
lawannya hanya mainkan ujung lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya
dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya!
"Keparat, mampuslah!"
Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang
menggetarkan seluruh ruangan itu. Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya,
akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup
pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya
sehingga dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan
telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu Kai-ong! Padahal lawan
yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang
berdasarkan Khi-kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh.
Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan
diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan lawannya terkejut bukan main
karena dari suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan
menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai-cu Ho-kang dan
mempercepat gerakan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu
Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin memang hendak mempermainkan
lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak. Hal ini sengaja dilakukannya
untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan
akan roboh olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan
setengah mati!
Dan memang usahanya ini berhasil. Keringat dingin membasahi muka pat-jiu
Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak akan
menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga
hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakan sinkang
dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan tangan kirinya dengan telapak
tangan terbuka. The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan
menggunakan ilmu Hiatciang Hoatsut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya
akan ilmu mujijat ini, maka dia bersikap hati-hati dan tidak berani memandang
rendah.
Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar, merasakan getaran
mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat
dia menekuk kedua lututnya sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya
dengan tiga buah jari tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur keluar dari
telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut.
"Dess!"
Dua benturan tenaga mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat!
Kiranya tenaga Hiatciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam
benturan tenaga ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin.
Kalau kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya
The Kwat Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan
berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat telapak tangan mereka .
Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar kearah ubun-ubun kepala
kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung
lengan baju melihat dan tangan The Kwat Lin menyambar ke depan dari dalam
lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu
Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut
sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh
wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat yang dicengkramnya menangkis.
"Krekkkk!"
Tongkat raja pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri dan selagi dia
terkejut bukan main, tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita itu sudah
menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan tetapi
ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke
bawah dan menotok lehernya.
"Auggghh...!"
Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah,
tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka
totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung ke belakang. Melihat ini, The Kwat
Lin tertawa terkekeh, kedua tangannya bergerak dengan cepat sekali dan biarpun
raja pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri, namun karena totokan
pertama membuat pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang
cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari tangan yang
tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!
Ketika dia siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang
di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki tangannya, bahkan tidak
mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang membuatnya
menjadi lumpuh, juga urat ganggu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa
dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada di tangan lawan, dan dia pun maklum
bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni kesalahannya. Maka dia
memejamkan mata menanti datangnya kematian.
"Bretbret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang
ini!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh
pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan
telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab
seorang datuk macam Pat-jiu Kaiong juga tidak mengenal takut, dia menggerakan
pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki
turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa.
"Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh,
menjijikkan!"
The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung lengan bajunya bergerak
menyambar ke arah leher Patjiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat
ganggunya dan dapat mengeluarkan suara.
"Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!"
teriaknya marah.
"Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta-minta mati
kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu
Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam . Maukah kau
membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?"
"Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah
maju dan anak ini memandang dengan muka bengis.
"Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja.
Tidak, untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam
siksaan. Jari tangannya. Hi-hak, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk
sepuluh orang suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk kedua suheng yang
lain,"
The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil
tertawa-tawa, kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara"
dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu
Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya, "Pat-jiu
Kai-ong , tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu!
hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu,
darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali.
Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera,
akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap
saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara
tidak sengaja dia telah memperoleh seorang putera! Dan puteranya itu dengan
pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya! Tadi dia terheran
melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal
gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman.
Kira-kira wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan
tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti
juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah
sendiri!
"Anak...jangan...dengarkanlah...."
"Pratttt...!"
Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak
mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok
oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh menyeringai.
"Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu
sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu
Ong, pergunakan pedang itu . Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk
Twa-supek dan Ji-supekmu!"
"Baik, Ibu!"
Bu Ong lalu melangkah maju dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak
itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun
telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa
badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya!
"Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan
mengambil dua buah daun telinga itu.
"He-he, seperti teling babi!"
Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa
nyaeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati
yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun
yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak
takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi
siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan
batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya .
"Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan
sakit hatinya.Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu
demi satu buntungkan!"
Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak
ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan tertawa-tawa dia membuntungi semua
jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap bunting sebuah jari, dia
bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali
dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa
Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja
pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini
anak itu samasekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali
dapat menyiksa kakek itu. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu
Kai-ong.
Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah
melakukan perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan
ini sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah
melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia
menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun,
telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam! Kini The Kwat Lin
membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu kaki tangannya
dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat
dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi
itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar
kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya.
Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat
dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
menggeliat-geliat.
"Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku
akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku terdahulu!"
The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan.
"Pat-jiu Kaiong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu?
Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa menyiksa
dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita .
Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!"
Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang
itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari
kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak
membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh
tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut
menahan nyeri.
"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali pedang itu digerakan, kini menusuknusuk dan seluruh tubuhnya
ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja
sehingga menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar
makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu
berkelojotan seperti dalam sekarat.
"Ini yang terakhir!"
The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita
itu tertawa bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan
dia tertawa sambil berdongak ke atas.
"Suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah
kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu.
"akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di
antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!"
The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kautunggu
di sini sebentar!"
Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu dan dengan cepat dia telah dating
menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh
dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kaiong yang
mandi darah.
“Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!"
The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan
gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang
dan Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan.
"Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya.
"Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.
"Ayah kalian telah tewas...."
Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal tinjunya dan
berkata, "Si jahanam Patjiu Kai-ong! aku harus membalas kematian
Ayah!"
"Subo, bantulah kami..." kata pula Swi Nio, "kami harus
menuntut balas!"
"Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong
telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh!
Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya
dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!"
Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute" ini. Ucapan
anak itu benar-benar membuat mereka merasa serem. Memang, mendengar kematian ayah
mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu
Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin membalas dendam. Akan tetapi
apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh luar
biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari tangannya, dan
perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat
mereka bergidik!
"Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak
memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku
sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian."
Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka
sambil bercucuran air mata.
"Terima kasih subo..." Kata mereka di antara tangis mereka.
"Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang.
"Tidak perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku
akan membakar gedung itu."
Biarpun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang
sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak membantah. Mereka
tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The
kwat Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini!
Memang Pat-jiu Kaiong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi anaknya
membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah
menjadi muka banyak anak laki-laki yang
menjadi korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya
itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan kini, setelah
tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri sampai menusuk-nusuk tulang, dia
ditinggalkan di antara mayat-mayat itu.
Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat
sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat
pingsan atau mati sekali, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu.
Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau yang memuakan pada hari ke dua. Bau
darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya,
masih
diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbanya, membuat
Pat-jiu Kai-ong menangis di dalam hatinya, menyesali perbuatannya yang
mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu.
Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa bergelak
melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa
dan dipermainkan di antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari tiga malam,
dan kini dia dapat membalas secara memuaskan sekali.
"Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya.
"Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!" pedangnya berkelebatan dan
seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu dicincang hancur oleh pedang di
tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah
dia membuat api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata
bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api yang membakar gedung,
maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar.
"Ayahmu telah sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis
lagi, hayo kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak
kalian tidak akan mengalami penghinaan orang lagi."
Dengan hati berat namun karena tidak ada orang lain yang mereka pandang
setelah ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat
Lin bersama Han Bu Ong pergi meninggalkan Hen-san. [bersambung]
No comments:
Post a Comment