|
"Dan aku hendak
mencari Swat Hong dan ibunya."
"Kalau begitu, mari
kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu , aku dapat bertemu
dengan ayahku."
Setelah mendapat banyak
pesan dan melihat Kong-kongnya, membawa pula bekal berupa pakaian dan sekantung
emas simpanan Kong-kongnya, berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan
Pulau Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu,
belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur jauh dan
dia hampir tidak dapat melihat lagi Kongkongnya bersama semua sisa penghuni
Pulau Neraka yang mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan
bercucurannya air matanya.
"Soan Cu, mengapa kau
menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum terlambat
untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak sekali
memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit banyak
dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh Swat
Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi!
"Ah, tidak, Taihiap.
Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan tempat yang sejak kulahir menjadi
tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi
setelah aku berangkat meninggakan pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah
sorga."
Sin Loing tersenyum dan mendayung
perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari mulut dara ini
merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya melihat kenyataan
bahwa sorga maupun neraka itu berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun
indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan di hatinya, akan merupakan neraka,
sebaliknya betapapun buruknya suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan
menjadi sorga!
Jadi, baik buruk, senang,
susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan
ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. keadaan di luar merupakaan
kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan dengan menilai, membandingkan,
maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang
saling bertentangan itu. Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu
dengan mata terbuka, memandang segala sesuatu seperti APA ADANYA, tanpa
penilaian. tanpa perbandingan.
Orang bahagia tidak
mengenal susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas
bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak
terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.
Perahu yang ditumpangi Sin
Liong dan Soan Cu meluncur terus, ujung depannya yang meruncing membelah air
yang tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru. Soan Cu sudah
melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke depan dengan wajah
berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang berlainan
sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka.
Banyak sudah dia mendengar
dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek moyangnya tentang keadaan
di dunia rame, dan sekarang dia sedang
menuju kepada kenyataan
yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!
***
Pusat perkumpulan
Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan) berada di lereng
Pegunungan Hen-san. Dari luar, tempat itu memang pantas disebut pusat
perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di dataran tinggi yang
dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi orang, pagar yang
butut dan bambu-bambu itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa
dibawa oleh para pengemis. Akan tetapi kalau orang sempat menjenguk di dalamnya,
dia akan terheran-heran menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga
disebut sebuah istana kecil berdiri megah dan mewah sekali!
Inilah tempat tinggal
Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kaipang di lereng
Hengsan! Pat-jiu kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan
tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya
selalu butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan
gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja
pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai
seorang pangeran!
Dan mulailah kehidupan
yang berlawanan dengan keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti
bumi dan langit. Di waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis kelaperan
yang berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan
pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang-senang makan minum dengan
hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda,
cantik dan genit. Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal didalam istananya yang mewah
akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi sehingga tidak tampak dari luar
itu bersama lima orang selirnya, lima orang pelayan dan selosin orang anak
buahnya yang merupakan pengawal-pengawalnya.
Selosin orang ini tentu
saja merupakan tokoh-tokoh dalam pat-jiu Kai-pang, karena mereka adalah pembantu
yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid tingkat satu dari raja pengemis
itu. para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan
mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka.
Adapun Pat-jiu Kai-pang
mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kota-kota. Dengan
mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong,
para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan
sebagian dari pada hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong.
Inilah membuat raja pengemis menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali.
Selosin orang pembantunya,
selain pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan
mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran!
Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya
di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi meninggalkan tempat
yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia
ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib karena dia pada waktu itu ingin
cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu
ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia
berhasil merebut Sintong, tentu dalam waktu satu tahun saja ilmunya akan
sempurna.
Akan tetapi karena seperti
diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk
dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini dia telah mahir dengan
ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia harus
mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!
Pada suatu hari ,
pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa meninggalkan kehidupan
malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang pengemis berjalan-jalan di
dalam taman bunga di belakang istananya, membawa tongkat butut dan berlatih
silat di waktu embun pagi masih tebal, tiba-tiba seorang pengawalnya datang
menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga
orang tamu datang ingin bertemu dengan Si Raja Pengemis.
"Hemm, siapakah
pagi-pagi begini sudah datang menggangguku?"
Pat-jiu Kai-ong berkata
dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa penasaran, dia tidak
memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan terutama sekali ketika
mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah seorang kakek bersama dua
orang muda, seorang dara jelita dan seorang muda tampan. Hatinya tertarik
sekali ketika mendengar bahwa kakek itu mengaku sebagai seorang "sahabat
lama." Ketika dia keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga
orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat
tampan dan pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu
sama lain menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia
kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun.
Sampai lama pandang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu,
keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan
perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut
ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Pat-jiu
Kai-ong kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan dua orang anakku ini.
Mereka adalah Swi Liang dan Swi Nio, ha-ha-ha!”
Akan tetapi Pat-jiu
Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak mengenal kedua nama ini. Dia
memandang dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya,
seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana
berwarna kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus
rambut yang berwarna kuning pula. Kakek itu tertawa lagi.
"Wah, Pat-jiu
Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada sahabatmu di
Lusan ini?"
"Ahhhh...!"
Pat-jiu Kai-ong tertawa,
mukanya berseri dan dia cepat membungkuk untuk memberi hormat.
"Kiranya sahabat Bu
yang datang? maaf, maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak
mengenal sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi
ini kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan
lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang dahulu
menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!"
Dara berusia lima belas
tahun yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya
berubah merah.
"Harap Pangcu sudi
memaafkan saya."
"Aih-aih...! Ini
tentu orang tua lusan ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!"
"Ha-ha-ha, Pangcu.
Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau disebut
Pangcu oleh puteriku?"
Kakek itu berkata.
"Wah, jangan berkelabar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman.
marilah masuk, kita bicara di dalam." Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk tangan
dan para pengawalnya muncul. "lekas beritahukan para pelayan agar
mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san
Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua orang putera-puterinya!"
Para pengawal itu mundur
dan Pat-jiu-kai-ong menggandeng tangan kakeknya itu, sambil tertawatawa mereka
memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di
kursi-kursi yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi
keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama
sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu-kai-ong tinggal disebuah istana yang megah,
kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat
sekali!"
Sejak tadi Pat-jiu-kai-ong
merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan
main melihat dara cantik jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha, kau terlalu
memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan
meneriama kehormatan kedataangan seorang tamu agung, seorang penolongku yang
budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok."
Kedua orang tua ini lalu
bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau. Siapakah kakek ini? Dia
adalah Lu-san Lojin, seorang ahli silat dan ahli pengobatan yang semenjak
istrinya meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak dua orang
anaknya itu mengasingkan diri ke puncak Lu-san, dan di sana dia bertapa sambil
mendidik dan menggembleng putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah
gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang
jalanan, menculik dan membunuhi bocah-bocah yang dianggapnya cukup sehat.
Ketika dia tiba di kaki
Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi
karena dia terlampau banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan
menghisap darah serta sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau
banyak melatih diri dengan ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena hatinya yang
penasaran mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong,
maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam
itu, dia terlampau terburu-buru dan akibatnya, hawa mujijat dari ilmu itu
membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia
terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lu-san. Dia
maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya
menjadi khawatir sekali.
Kebetulan baginya, pada
saat itu keadaannya terlihat oleh Lusan Lojin yang sedang turun gunung bersama
putera-puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun, sebagai
seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong.
Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong
memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke puncak Lu-san. Di
situ Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh . Selama satu bulan
berada di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik dari
Lu-san Lojin, maka dia merasa berterima kasih sekali dan menganggap pertapa itu
sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang
mungil itu. Karena kebaikan hati Lu-san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang
sebagai seorang anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak
tega untuk mengganggu anak laki-laki itu.
Di lain pihak, ketika
mendengar bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu kai-ong ketua Pat-jiu kai-pang,
Lusan Lojin terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis
yang namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah sembuh,
mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan
saling membantu.
"Sungguh aku tidak
tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan minum Pat-jiu Kai-ong
berkata kepada tamunya.
"Sepatutnya akulah
yang datang mengunjungi kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauh-jauh datang mengunjungi aku."
"Ahhh, mengapa kau
menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masing-masing
sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya kebetulan saja
lewat di kaki Pegunungan Heng-san, maka aku teringat kepadamu dan mengajak
kedua anakku untuk mendekati Pegunungan Hengsan mencarimu."
"Terima kasih, engkau
baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian
datang dari manakah?"
Lu-asn Lojin menarik napas
panjang dan menoleh kepada puteranya, memandang puterinya seolah-olah minta
ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya kepada ayahnya, dan menunduk.
Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang sahabat baik
ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja
pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat
membantunya .
"Kami baru saja
datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata sia-sia
belaka perjalanan kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."
"Tee-tok Siangkoan
Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari racun bumi itu, Lu-san Lojin?"
"Sebetulnya urusan
lama, urusan perjodohan, semenjak kecil, antara Tee-tok dan aku telah terdapat
persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya yang
bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada
berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya,
namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini aku mendengar bahwa dia berada di
Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami bertiga mencarinya di sana,
ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap orang tua itu masih selalu
aneh dan penuh rahasia."
"Ha-ha-ha, ala
salahmu sendiri! mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti
Tee-tok?"
"Pat-jiu Kai-ong,
jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu, kami mengharap
bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah, agar suka menyelidiki di mana kami
dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan
khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya, dan kalian bermalamlah di sini,
jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin menggeleng
kepala.
"Sudah terlalu lama
kami meninggalkan pondok, kami hanya dapat bermalam untuk satu malam saja.
Besok pagi-pagi kami harus melanjutkan perjalanan."
"Semalaman cukuplah,
Biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba terdengar suara
hiruk pikuk di luar istana raja pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang
pengawal pribadi Kaiong masuk dengan muka pucat dan kelihatan takut.
"Ada apa? mau apa
kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan menurunkan cawan araknya
keras-keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar.
"Pangcu...ampunkan
kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa yang amat aneh dan
mengkhawatirkan kami semua."
"Apa yang terjadi?
Hayo cepat ceritakan."
Dengan wajah ketakutan,
seorang di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru saja
terjadi di luar istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal
menjaga di luar dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat-jiu
Kai-ong. Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan
kadang-kadang mengadunya.
Pagi hari itu seperti
biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi makan ayam jago itu, dan
memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba-tiba
ayam jago itu menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu
mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang
kemudian ternyata adalah
sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya.
"Kami telah meloncat
dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun manusia,
Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun untuk
menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!"
Raja pengemis itu marah
sekali mendengar jagonya dibunuh orang.
"Kalian tolol semua!
Mana kain yang ada tulisan itu!"
Kepala pengawal yang
mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan sehelai kain
putih kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan huruf-huruf kecil
berwarna hitam, akan tetapi ada noda-noda darah, darah ayam jago tadi. Akan
tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu,
sejenak menjadi bingung
dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca.
Dia buta huruf! Dengan
jengkel dan agak malu dia lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin sambil
berkata, "Harap kaubacakan ini untukku!"
Lu-san Lojin menyambar
kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang tulisan. Mukanya
berubah, matanya terbelalak.
"Wah... apa artinya
ini?"
"Lojin! bagaimana
bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak.
Lu-san Lojin lalu membaca
huruf-huruf itu. “Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu
Kai-ong dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis! Ratu Pulau Es."
"Ratu Pulau
Es...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak
mengenalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini? Haha-ha, biar
dia datang hendak kulihat magaimana macamnya!"
"Kai-ong, harap jangan
main-main. Biarpun hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal,
katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi dahulu yang
terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa perduli?
Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah mengganggu
aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak membunuhku dengan ancaman
sesombong itu? Aku tidak percaya. He, pengawal apakah kalian tahu akan isi surat?"
Dua orang pengawal itu mengangguk.
"Sudah Pangcu."
"Apa kalian
takut?"
"Ti... tidak, Pangcu,
Hanya...hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah
kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan yang ketat
terutama malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia
datang, kita tangkap dia dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!"
"Kai-ong harap
hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar dari
ruangan itu.
"Ha-ha-ha, mengapa
khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang datang,
setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?"
Kakek dari Lu-san itu kelihatan
ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa dia takut, tentu saja dia tidak
mau dengan hati berat dia bersama dua orang anaknya menemani tuan rumah makan
minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka
dipersilahkan mengaso sejenak dalam kamar tamu, akan tetapi menjelang senja,
mereka sudah dipersilahkan makan minum lagi.
Sekali ini mereka
benar-benar takjub. Melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian, pakaian
malam yang indah dan mewah! Mengignat betapa siang tadi Kai-ong merupakan
seorang pengemis yang berpakaian butut, dan kini seperti seorang raja,
benar-benar membuat Lu-san Loji hampit tertawa, seperti melihat seorang badut
pemain lenong! Dan hidangan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih
lengkap daripada siang tadi!
"Ha-ha, ayo makan
minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan
tamu-tamunya. Setelah hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali,
Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya yang
gendut, matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah,
lalu dia berkata, kata-kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para
tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah mati,
"Lu-san Loji,
sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang hendak
mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan tampan gagah,
biarlah mereka berdua besenang-senang dengan aku dalam kamarku, ha-ha-ha!"
"Kaiong!" Lu-san
Lojin membentak. "Apa... maksud kata-katamu ini?"
Pat-jiu Kai-ong memandang
tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini tampan
gagah dan Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada
mereka. Kalau mereka bedua bersama dengan aku dalam
kamarku, tentu mereka akan
terlindung dan....hemmm, aku ingin sekali bersenang dengan mereka,
tidur-tiduran dengan mereka sejenak."
"Kai-ong, apa kau
gila??" Lu-san Lojin hampir tidak dapat percaya akan pendengaranya sendiri.
"Eh, mengapa? Apa
salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak tahan aku
melihat puterimu yang muda dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan
ganteng ini. Anak-anak baik, marilah kalian layani pamanmu..."
"Keparat!"
Lu-san Lojin melompat ke
depan dan dua orang anaknya yang berada di belakangnya pun sudah siap dengan
pedang di tangan.
"Pat-jiu Kai-ong!
Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu ini. Mau
apa engkau dengan anak-anakku?"
"Ha-ha-ha! Siapa main
gila? Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi
begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang membunuh ayamku dan
mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu? Dan kau
tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tidak pernah menyia-nyiakan kecantikan
seorang dara remaja seperti putermu ini dan puteramu yang tampan ini tentu
memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum yang kuat. Perlu sekali
untuk menambah keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat menghadapi lawan
kalau malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis jahanam!
Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!"
Lu-san Lojin sudah
menerjang maju dengan kepalan tangannya. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi sebagai bekas murid Hoa-sanpai yang sudah memperdalam ilmunya
dengan ciptaanya sendiri, hasil renungannya di waktu bertapa. Kepalan tangnnya
menyambar dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi
kiranya hanya dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan
Pat-jiu Kai-ong.
Dalam ilmu berkelahi, dia tidak
mampu menandingi Kai-ong yang amat lihai. Sambil tertawa, Kai-ong mengebutkan
ujung lengan bajunya yang lebar dua kali dan kakek Lu-san itu terpaksa harus
menarik kembali kedua tanganya karena dari kedudukan menyerang, dia malah
menjadi yang diserang karena pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung
lengan baju itu! dua orang naknya yang sudah marah sekali karena merasa dihina,
sudah menerjang maju pula dengan pedang mereka. Swi Liang menusuk dari samping
kiri ke arah lambung kakek pengemis itu, sedangkan dari kanan Swi Nio
membabatkan pedangnya ke arah leher.
"Ha-ha, bagus! Kalian
benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolah-olah
tidak tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu
menyambar dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang pedang
itu telah dicengkramnya dengan telapak tangan! Swi Liang dan Swi Nio terkejut
bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu dipegang
oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakan tenaga menarik pedang dengan
maksud melukai telapak tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini sia-sia
belaka, pedang mereka tak dapat dicabut, seolah-olah dicengkeram jepitan baja
yang amat kuat.
"Manusia tak kenal
budi!"
"wirrrr...
tar-tar!"
Pat-jiu Kai-ong merasa
terkejut melihat menyambarnya sinar kuning dan ternyata bahwa Lu-san Lojin
melolos sabuknya yang berwarna kuning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai
senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan memainkan
sabuk sebagai senjata sudah merupakan keahliannya. Sabuk lemas di tangannya itu
dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata yang kaku
dengan pengerahkan sinkangnya. [bersambung]