Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di
antara penghuni Pulau Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan
Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka
dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang kearah pulau dengan
air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan
nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka berdua mendayung
perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perjalanan ini mereka menemukan
bukti-bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan
gunung berapi di bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap sama sekali , dan ada
pula pulau yang baru muncul begitu saja, pulau yang amat aneh, pulau batu karang
yang masih jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan
segala keindahannya, dengan mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua
mengeras menjadi batu karang dengan bermacam bentuk.
Banyak pulau yang mengalami nasib serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi
gundul, habis sama sekali tetumbuhan atasnya. Diam-diam terbayang dalam pikiran
Sin Liong betapa dahsyat kekuasan alam. Andaikata semua lautan yang mengamuk
seperti beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat! Melihat
keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang
keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai,
pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong dan
pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni Pulau
Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan seluruh
penghuninya terbasmi habis?
"Agaknya ibumu tidak berada diantara pulau-pulau ini," Beberapa
hari kemudian setelah merasa mencari dengan sia-sia, Sin Liong mengemukakan
pendapat.
"Bagaimana kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita
berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau ibumu ke
sana." "Hemm, agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu,
suheng." Sian Liong mengerutkan alisnya.
"Sumoi, kau...cemburu lagi?" Wajah dara itu menjadi merah.
"Aku hanya berkata sewajarnya."
"Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau
Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang. Hening sejenak dan mereka
telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat keputusan
akan mencari ke mana.
"Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata.
"Ehhh...??"
"Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau
Neraka yang menjadi biangkeladi sehingga Ayah marah-marah kepada kita, hampir
saja kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka telah berani menawanku."
"Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi?
Bukankah Ayamu telah menyerbu ke sana kurasa Ayahmu telah menghukum mereka
menurut cerita anak buah pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana,
sumoi."
"Aku harus pergi ke sana!" dara itu berkeras. Sin Liong
menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak
aneh dan hati yang keras sepeti baja.
"Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu, akan
tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau
harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi."
"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik
Pulau Neraka, ya? Karena ada...."
"Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik
mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar kita ketika meninggalkan pulau itu?
Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk
mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai mengamuk."
Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat
saja nanti."
Dan mereka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan
tetapi, setelah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan
pangling karena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin
karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat
luas itu, di sekitar situ telah muncul gunung-gunung es yang anat besar
sehingga Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur
itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh
gunung-gunung es. Mereka mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar
dari kurungan gunung-gunung es itu.
"Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata
Swat Hong.
"Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso
dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu
saja di sini."
Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat
ke daratan es. Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung
es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh
gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat
apa yang mengeluarkan suara seperti itu. Dari jauh tampak olehnya seekor
beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya ke arah burung-burung yang
menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar (burung botak pemakan
bangkai) yang besarbesar beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari
atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan.
Melihat ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata beruang itu terluka
parah juga di beberapa bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya
tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi
berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita
luka-luka dan burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya
dan tentu saja ingin makan bangkai ular besar. Sin Liong segera menggunakan
salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara
plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan
dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena
sambitan salju, terasa nyeri sekali.
Dengan beberapa loncatan saja Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu.
Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan mengerang,
memperlihatkan gigi bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah.
Matanya terbelalak penuh kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong.
"Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil
maju lebih dekat.
"Auuughh..!"
Beruang itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin
Liong. Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat
menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang
dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut, beruang itu
mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia mencengkeram sampai tulang
punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu, Sin
Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia segera membalut
dengan saputangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi.
Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan
musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi
dan tentu saja , karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena
tulang yang menancap itu.
"Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata
dan dia memeriksa luka-luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk
yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau tidak
lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu.
"Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk
luka-lukamu,"katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa
yang dia katakan.
"Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari
atas. Sin Liong menoleh dan melihat Sumoinya turun berlari-lari cepat
sekali.Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong dengan
marah.
"Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki.
"Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan
ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali.
Aku harus mengobatinya sampai sembuh."
Swat Hong mengerutkan alisnya, "Perlu apa menolong binatang buas
seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."
"Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk
hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya,sumoi."
"Wah, kau lebih mementingkan dia..."
"Hei..., ada apa engkau...?"
Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu menggereng-gereng dan
menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ!
Beruang itu makin keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam-diam Sin
Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia
hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia menggerakan sinkang
sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap
beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak.
"Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah
mengapa?"
Sin Liong memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret
oleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan
berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru saja mereka melompat ke
atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es dimana
mereka berada tadi telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya
gunung es itu ditabrak oleh gunung es yang lain dan hal ini agaknya telah
diketahui oleh si Beruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak
dari situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak
ada pada manusia!
Sin Liong berdiri dengan muka pucat, kemudian dia merangkul beruang itu.
"Terima kasih, kakak beruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami
berdua."
Akan tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera
pergi dari sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan
itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah,
suheng."
"Nanti dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati
luka-luka di tubuh beruang ini."
"Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini..."
"Sumoi, dia telah menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika
kau mengusir burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti
sudah terbalas semua budi, bukan Marilah, Suheng."
"Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai
mengobatinya."
Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang biruang betina ini
dari pada aku!"
"Sumoi...!"
Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es
dan menuju ke perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu
pergi dari situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur,
akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya.
"Ngukkk... nguuuuukkk...."
Beruang itu mendengus-dengus dan menciumi kepalanya.
"Ahhh, Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa sukarnya menyelami watak
wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah, akan tetapi bagaimana
hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh
lukamu?"
Sin Liong lalu mengajak beruang itu mencari daun. Karena perahu sudah
dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa dia mencari pulau yang masih ada
tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu es lainnya, dan kalau jaraknya
terlalu jauh, beruang itu menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es
lainya atau kadang-kadang Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang
sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui
perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih ada
tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka-luka beruang
itu sampai sembuh.
Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu kosong terbalik mengambang tidak
jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh beruang mengambilnya
dan hatinya terharu ketika mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu
pulau es. Tentu penumpangnya telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu
membuat dayung dari cabang pohon dan setelah biruang hitam itu sembuh benar,
dia lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi
tiba-tiba beruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya.
"Heii, kakak beruang, kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan aku harus
pergi mencari sumoi!"
"Nguuuk...nguukk...!"
Beruang hitam itu mengeluarkan suara mengeluh dan mukanya seperti orang
menangis! Sin Liong tersenyum.
"Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!" Seolah-olah
mengerti arti kata-kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu
kini mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar-sinar dan lidahnya terjulur
keluar seperti sikap seekor anjing yang kegirangan.
"Kau boleh ikut sampai aku dapat menemukan kembali sumoi!" kata
Sin Liong.
"Kalau sumoi tidak menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena
kau telah sembuh."
Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka.
Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di
mana letaknya Pulau Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat Swat Hong,
menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu meluncur
dan binatang ini telah jinak benar-benar. Setelah kini dia mengenal kembali
keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan
dengan cepat. Setelah dekat dengan Pulau Neraka, dia menyaksikan suatu yang
membuatnya terheran dan merasa tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat
di Pulau Neraka. Jelas bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu
besar sekali, perahu layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu
itu pun dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya
patah, layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali,
berdiri miring di pantai Pulau Neraka. Apakah yang telah terjadi di Pulau
Neraka?
Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput dari
amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan badai, maka
penderitaannya tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik
tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula penghuninya
yang
tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan badai.
Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon yang berada di tepi pantai bobol semua. Dan
setelah badai mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi pantai. Perahu itu
adalah perahu bajak laut! Setelah air menyurut, para bajak laut yang
terdiri-dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu kelelahan dan
kelaparan, bahkan ada lima orang di antara mereka tewas ketika badai mengamuk
sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua puluh lima orang itulah. Mereka
mendarat di kepalai oleh raja bajak yang memimpin mereka, raja yang amat
terkenal di sepanjang pantai muara-muara sungai Huangho dan Yangce.
Kepala bajak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar yang buta sebelah
matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan pedang lawan dalam pertandingan,
kini ditutupi oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan
lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di antara para nelayan dan pedagang yang suka
berperahu, dia dikenal sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu) dan
namanya adalah Koan Sek.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh badai
dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga, mereka
tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau Neraka hanya dikenal
oleh Orang-orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah Pulau Es,
yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng. Betapapun
juga, Pulau Es merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para
bajak. Akat tetapi karena pulau dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau
Es, melainkan pulau yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan
setelah badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah pulau.
Untung bagi mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik
dan mengamuk di daratan pulau sehingga binatang-binatang berbisa pun menjadi
panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar. Andaikata mereka
itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mereka akan menjadi korban
binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin sekali
tidak ada diantara mereka yang akan dapat lolos betapapun liar, ganas dan lihai
mereka itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya hati para bajak itu
ketika mendapat kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang
dibuat oleh manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi
kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan
dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah
biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Neraka itu
mereka sambut dengan gembira.
Mereka mengira bahwa penghuni pulau itu adalah orang-orang biasa saja. Maka
besar sekali kekagetan mereka ketika mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua
puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai,
yang berani menyambut mereka dengan serangan itu rata-rata memiliki kepandaian
hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan mati-matian. Bajak laut pimpinan
Tok-gan-hai-liong itu pun bukan orang-orang biasa melainkan penjahatpenjahat
pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata-rata pandai ilmu silat. Apalagi
Tok-gan-hai-liong sendiri bersama seorang pembantu yang sebetulnya adalah
sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa Liok Gu, seorang ahli
pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok-gan-hai-liong Koan Sek sendiri adalah
seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan sebuah bola baja
yang berat dan keras.
Para penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua
mereka, Ouw Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan
Pulau Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena
dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua.
Pernyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan
juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa dendam yang lebih
mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan dari Kwa Sin Liong telah
dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit sekali. Untung masih
ada beberapa macam obat yang hafal olehnya, akan tetapi sebagian besar telah
dibasmi oleh Raja Pulau Es yang marah itu.
Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat
tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat
dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak buahnya yang datang
melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu kini disebu oleh sepasukan
bajak laut yang ganas dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat...!"
Kakek itu meloncat bangun akan tetapi terguling kembali dan Soan Cu segera
memegang lengan kakeknya, membantunya untuk rebah kembali.
"Tenanglah, Kong-kong! Biarlah aku yang keluar untuk membantu
teman-teman membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu."
Ouw Kong Ek terpaksa hanya mengangguk karena dia sendiri masih tidak kuat
untuk bangun, apalagi bertempur.
"Hati-hatilah, Soan Cu..."
Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat mengusir
bajak-bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu. Dengan
pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah bertanding
mati-matian melawan bajak-bajak yang ganas, apalagi melihat seorang wanita
Pulau Neraka digeluti oleh dua orang laki-laki kasar sampai wanita itu
menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah tertawa-tawa dan
merobek-robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah sekali. Dia
mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke depan, pedangnya
menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa wanita itu roboh dengan
leher terkuak lebar dan hamper putus!
Wanita itu cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti
seekor harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi. Melihat
sepak terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak,
Tok-gan-hailiong Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak
lain cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat dan
pedangnya berubah segulung sinar terang yang menyambar Dahsyat, membuat dua
orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan senjata dengan hati-hati
sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan sinar pedang yang
dimainkan oleh dara itu.
"Lepas tulang ikan!!"
Tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sutenya dan mereka berdua
telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat orang banyaknya
melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka berdua lalu mengayun tangan
berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut bertubi-tubi menyambar ke arah Soan
Cu dari depan dan belakang. Dara ini memandang rendah senjata rahasia mereka.
Dia adalah Seorang dara Pulau Neraka sudah terlalu banyak racun dikenalnya
bahkan dia telah menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu khawatir
ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai pahanya.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh dan
begitu dia menggerakan pedang, tubuhnya terhuyung, kepalanya pening.
"Aihhh...!"
Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara ini tidak
tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang berbentuk
duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut ini tentu
saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa yang
asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya.
"Sute, tangkap nona manis ini...!"
Teriak Koan Sek dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
gerengan yang dahsyat dan yang membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak
yang mendengar suara itu dekat sekali dibelakang mereka menengok dan... mereka
itu terjengkang dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan.
Kiranya yang menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang
menakutkan. Seekor beruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala
mereka sekaligus! Sin Liong yang datang bersama biruang itu cepat meloncat
mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan
tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah berada di punggung biruang,
lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara itu
telah menjadi pingsan sedangkan tangan kanan menggerakan pedang dara itu sambil
beseru, "Kakak biruang, lawan mereka
yang berani mendekat!"
Biruang itu menggereng-gereng dan ketika melihat dari kiri ada sinar
menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari kepala
bajak, tiba-tiba kaki depan kiri yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak
menangkis, bukan menangkis pedang melainkan mencengkram kepala Coa Liok Gu.
Tentu saja orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikan pedang dan
siap untuk menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lawan, dia
meloncat ke atas dan menusukan pedangnya mengarah
bagian antara kedua mata biruang itu.
"Cringgg...!!"
Pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang kalau
tidak ingin dadanya robek oleh cakar biruang setelah pedangnya ditangkis oleh
Sin Liong tadi.
"Siuuuut...!!"
Senjata ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar
dengan ganas, menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat dan
dengan tenaga dahsyat.
"Cringgg...! Tranggg...!!"
Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula
kepala bajak itu berseru kaget karena telapak tangannya hampir terkupas
kulitnya dan terasa panas dan perih. Pada saat dia terbelalak dan terheran,
biruang itu sudah membalikan tubuh dan sekali kaki depannya yang kanan menampar,
kepala bajak itu mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya
dan biruang itu sudah menubruknya dan mencengkram ke arah lehernya.
"Kakak biruang, jangan ...!"
Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu-ragu sehingga kesempatan
itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat jauh kebelakang. Dia dan
pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang
menunggang biruang itu membawa pergi tubuh dara jelita yang pingsan. Biarpun
pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang
karena dia maklum bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu
memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Sin Liong merasa bingung dan
gelisah menyaksikan pertempuran hebat itu.
"Hentikan pertempuran...!"
Dia berseru berkali-kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni
Pulau Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka
sukar untuk dibujuk. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan
suara itu segera disusul suara berdengungdengung dan berdesis-desis. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketika dia melihat datangnya
binatang-binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan
sebangsanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah-olah digerakan
oleh suara melengking iru, dan yang lebih mengerikan lagi, lebah-lebah putih
datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung
biruang dan kini biruang itu pun terkejut dan ketakutan, seolah-olah binatang
raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya maut datang mengancamnya. [bersambung]
No comments:
Post a Comment