Demikian pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang sakti dan bijaksana
namun tiba saatnya dia lengah dan menganggap bahwa dia menemukan kebahagiaan
dalam diri The Kwat Lin. Padahal yang dia temukan hanyalah kesenangan yang
timbul dari kenikmatan badani, dari terpuaskannya nafsu. Dia seolah-olah hidup
dialam khayal, di alam mimpi. Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang
manis menjati pahit bukan main, baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah
sama mudahnya dengan membalikan telapak tangan!
Dan mengalah, suka dan duka hanyalah dwi muka (kedua muka) dari sebuah
tangan yang sama! Perahu kecil itu terayun-ayun kekanan kiri seperti
menari-narikarena tidak dikuasai oleh layar maupun dayung, melainkan sepenuhnya
dikuasai oleh air laut yang tenang. Dua orang yang duduk diperahu itu seperti dua
buah arca, diam dan pandang mata mereka melayang jauh ke kaki langit,
melayang-layang di permukaan laut seperti mencari-cari sesuatu yang hilang. Dan
memang fikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang
mencari-cari jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. pulau Es hanya kelihatan
sebagai sebuah garis mendatar putih dekat kaki langit. mereka berangkat
pagi-pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang sunyi ini,
mereka menggulung layar dan membiarkan perahu mereka dibuai gelombang kecil.
Mereka sudah lama berdiam diri seperti itu, dibuai oleh lamunan masingmasing,
lamunan yang timbul karena keadaan di Pulau Es yang menyedihkan.
"Suheng..."
Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena sejak tadi mereka
tidak mendengar suara apa-apa, maka suara panggilan ini seolah-olah mengandung
getaran hebat yang memenuhi seluruh ruang kesunyian. Sin Liong menoleh dan dia
pun seolah-olah baru sadar dari alam mimpi.
"Hemmmm...?" jawabannya masih ragu-ragu.
"Suheng mengajakku meninggalkan pulau dan setelah tiba disini, mengapa
suheng tidak lekas bicara melainkan melamun saja?"
"Aku terpesona akan keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...."
"Aku pun tadi terseret, Suheng. Akan tetapi melihat batu karang
menonjol di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan menjadi setua batu karang
itu yang kerjanya hanya termenung di tempat sunyi! Suheng, kau tadi bilang
bahwa untuk membicarakan urusan kita, engkau mengajakku ketengah laut.
Mengapa?”
"Engkau sudah mengerti sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita,
bahwa ada terjadi sesuatu yang rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak
enak kalau mengajak kau bicara berdua saja di tempat sunyi di atas pulau itu.
Dapat menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Karena itulah maka kuajak kesini,
agar kita dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada yang mendengar
dan melihat. Pula, kuharap ditempat yang sunyi ini, yang membuat kita
seolah-olah berada di dalam alam lain, kita akan menemukan ilham..."
Swat Hong tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah dia tidak
berada di Pulau Es yang membuat dia selama ini ikut muram dan berduka.
"Wah, Suheng! Kadang-kadang kau bicara seperti seorang pendeta saja!
Apa sih yang akan dibicarakan sampai-sampai kau membutuhkan ilham segala?"
"Mari kita bicara tentang cinta, Sumoi."
Wajah dara muda jelita itu terheran, matanya memandang terbelalak dan
perlahan-lahan kedua pipinya menjadi agak kemerahan.
"Aihh... apa maksudmu, Suheng?"
Sin Liong menarik napas panjang, dan menyentuh tangan sumoinya.
"Perlukah aku menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan
kedukaannya yang terakhir sekali ini adalah menyangkut hubungan antara kita.
Suhu menghendaki agar kita berjodoh, dan kita secara jujur telah menyatakan
tidak setuju akan kehendaknya itu. Dan memang kita benar, Sumoi. Perjodohan
tidak bisa ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi
seseorang, akan melekat selama hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu kalau
hal ini tidak kita bicarakan secara terus terang? Maka, agar kita dapat
mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhu ini, marilah kita bicara
tentang cinta!"
"Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," Kata Swat Hong yang
tentu saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing baginya itu.
"Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?"
Dara itu makin merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya
secara langsung seperti itu sehingga dia merasa seperti diserang dengan tusukan
pedang yang amat dhasyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan
bingung.
"Aku...aku...ah, aku tidak tahu..." dan dia menundukan mukanya.
"Sumoi, sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah
ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat baik
kepadaku, dan kau tidak senang melihat Kongkongnya hendak menjodohkan Soan Cu
dengan aku. Sumoi, aku tidak tahu apa cemburu itu tandanya cinta? Akan tetapi,
jawablah demi pemecahan persoalan yang kita hadapi ini. Cintakah kau
kepadaku?"
Disinggung-singgung tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menadakan
rasa cemburunya, Swat Hong menjadi makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan
tetapi begitu dia bertemu pandang dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan
ditutupinya mukanya dengan kedua tangan, kepalanya digeleng-gelengkan dan dia
berkata,
"Aku tidak tahu...aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau
saja yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!"
Dan kini dia menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu
kini dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong! Sin Liong menarik napas
panjang.
"Itulah yang membingungkan hatiku selama ini,Sumoi. Mau bilang tidak
mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa
aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak tahu bagaimana
sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu terhadap ibumu yang
berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? ataukah seperti cintanya Ibumu
kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan suhu? Hemm, mengapa
semua cinta itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku
menjadi ngeri melihat cinta macam itu, Sumoi."
Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta
seperti yang kau kemukakan ini, suheng."
"Mudah saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The
Kwat Lin. Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan,
kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri
dan aku tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun, Sumoi.
Karena, kalau hanya seperti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan hanyalah
merupakan kembang bibir elaka, hanya cinta palsu belaka. Bayangkan saja, Sumoi.
Di antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang menjelang dewasa, tidak
pernah ada pertentangan dan tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi,
setelah kita berdua mengaku cinta, lalu timbul soal-soal cemburu, kecewa dan
lain-lain. Apalagi setelah menjadi suami istri...hemm, betapa mengerikan kalau
melihat contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini."
Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan yang diajukan oleh Sin
Liong itu terlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya, sebagai
seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari
seorang pria yang menyenangkan hatinya, seperti suhengnya ini. Akan tetapi,
setelah mendengar uraian Sin Liong tentang cinta yang diambilnya peristiwa di
Pulau Es sebagai contoh, dia pun ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya
itu.
"Aku tidak tahu, Suheng.., aku tidak mengerti. Terserah kepadamu
sajalah..."
Sin Liong kembali menarik napas panjang. Dia memang sudah mengambil
keputusan di dalam hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya
yang sudah berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya jalan untuk
membalas budi hanya dengan menyenangkan hati suhunya yang sedang berduka itu.
Dia harus menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong!
Akan tetapi dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan keputusannya ini,
maka dia harus tahu terlebih dahulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan
sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang cinta.
"Sumoi, sekarang begini saja. Andai kata aku memenuhi permintaan suhu,
yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu, bagaimana
dengan pendapatmu?"
Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik.
"Aku tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada ayah..."
"Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal ini menyenangkan
hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau, seperti aku, tidak
bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kukatakan apakah ikatan jodoh ini
tidak menimbulkan penyesalan bagimu?"
Swat Hong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
"Kalau begitu, andaikata aku menerima, engkau pun akan menerimanya
dengan senang hati?"
Swat Hong mengangguk!
"Kalau begitu, mari kita pergi menghadap Ayahmu. Aku akan menerima
permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan
hatinya. Aku telah berhutang banyak budi dari suhu, maka kalau dengan
penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya, aku akan merasa senang."
Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan menggerakan dayung.
"Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? jadi kau...kau tidak
cinta kepadaku?"
"Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah
banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa
sekali cinta diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak
tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka aku tidak berani lancing mengaku,
Sumoi..."
"Ahhh...!!" Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa
kecewa dan juga kekangetan hebat, matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat
wajah Sumoinya, Sin Liong cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan
dahsyat dibarengi dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah membakar
dunia. Tampak oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi
sekali disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan
Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak
berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba karena perahu
mereka dilontarkan keatas, dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh
gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara mengguruh memenuhi telinga
mereka dan keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan
kebisingan yang sukar dilukiskan. Sin Liong berteriak, "Sumoi, bantu aku!
Jangan sampai perahu terguling!"
Keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur
keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat dahsyat itu
mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang pemuda itu adalah
tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi permainan gelombang,
dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret kebawah, seolah-olah tangan
malaikat maut atau ekor naga laut yang menyeret perahu ke dasar laut, akan
tetapi tiba-tiba dihayun lagi keatas, ditarik ke kanan, didorong kekiri
sehingga kedua orang murid Raja Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah
pingsan!
Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka
diombang-ambingkan air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak,
dan mereka tidak sempat menggunakan pikiran lagi. Yang ada hanya naluri untuk
menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling
dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu.
Dengan tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong
memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan
sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali
ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat keganasan
air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang setinggi gunung yang
seolah-olah setiap saat hendak mencengkram dan menelannya itu! Tiba-tiba Swat
Hong menjerit. Segulung ombak besar dating dan menelan perahu itu. Mereka
gelagapan karena ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka
dilambungkan ke atas.
"Brukkk...!"
Keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan.
Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang. Ternyata
perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang,
sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecilkecil sekali,
merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi.
"Sumoi, lekas..., kita naik ke sana...!!"
Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit semua, membantu
sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan
tetapi gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini, tersaruk-saruk dia
dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke atas, kemudian mereka
melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah.
Akhirnya mereka tiba di puncak batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari
tempat tinggi ini benar-benar menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka.
Air yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung,
suara yang gemuruh seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit.
Batu karang besar , atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu
tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan
badai yang mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dan
kegelapan, kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api
seekor naga yang bernyala-nyala, "Ouhhhh..!"
Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suhengnya. Tubuh dara itu
menggigil, pakaiannya robek-robek.
"Tenanglah... tenanglah, Sumoi...."
Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya sumoinya yang
disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga! Pengalaman ini sungguh
dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasan
alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong dan remeh
sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya
mereka berada di tempat itu.
Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan
kadangkadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air,
angin menderu, dan kadang-kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan
merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub dan ngeri! Di luar tahunya dua orang
itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam!
Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi di
bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih bergerak
perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun, akhirnya
tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah kabut
terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah dan baru sekarang
ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak batu karang yang
amat tinggi! Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa
luka-luka kecil dari kulitnya yang lecet-lecet, dan betapa haus dan lapar leher
dan perut!
"Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita.
Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoinya,
menuruni batu karang. Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan
dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu itu, membawanya turun kebawah.
"Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan."
Swat Hong duduk didalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuk
kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian hebatnya,
Suheng."
“Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka, kita harus cepat
pulang." dia lalu menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung.
Perahu bergerak, meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca,
sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk
sedemikian hebatnya baru-baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan
dayung yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya
pulau-pulau kecil disekita tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya
sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air.
Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah
perahu dan tak lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih
seperti biasa, sebuah pualu keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun
tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi
perubahan di pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap
istana di Pulau Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar
tegang ketika perahunya sudah menepel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi.
Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak sebuah
perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan
dan berubah bentuknya!
Dengan hati tidak enak kedua orang muda itu belari-lari ketengah pulau.
Makin ke tengah, makin pucat wajah mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan
juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang habis sama
sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu
bersih, tersapu bersih dari pulau itu.
"Auhhhh...!"
Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil.
"Mari kita ke istana, Sumoi!"
Sin Liong yang berkata dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya
dan diajaknya dara itu lari ke dalam istana. Beberapa kali terdengar Swat Hong
mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka
seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya
tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot-prabotan istana
maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau seorang pun
manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriak-teriak memanggil,
yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri!
"Oughhh...!!"
Swat Hong tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan berduka, tubuhnya
tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar oleh Sin
Liong.
"Sumoi...!"
Akan tetapi suara ini kandas dikerongkongannya dan tanpa disadari pula,
kedua pipi Sin Liong basah oleh air matanya yang mengalir deras menuruni kanan
kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam
kamar. Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang
terbuka, karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong
pun prabotannya. terpaksa dia merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan dia
sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil menangis. terlampau
hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih oleh badai!
Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang
tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal, kecuali bangunan
istana yang memang amat kuat itu.
Setelah siuman, Swat Hong menangis, "Aih, mengapa..? Mengapa...? ayah,
kasihan sekali Ayah...!"
Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya. Mereka berdua
lalu mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau
Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi sehingga
pulau itu teredam air. Mereka menemukan beberapa potong pakaian yang tersangkut
di batu-batu dan dengan hati terharu penuh kedukaan mereka mengumpulkan pakaian
itu, entah punya siapa, sebagai barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian
mereka memeriksa istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di
dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan
lenyap.
"Suheng, lihat ini...!" tibatiba Swat Hong berkata sambil
menunjuk ke dinding. Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan
tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh tenaga
sinkang untuk menulis di dinding batu itu!
"Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan
membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali
semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Ki-ong." Pendek
saja "surat dinding" itu, namun cukup jelas isinya. Sin-Liong menarik
napas panjang. Kasihan dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu!
"Suheng lihat ini..."
Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkram
dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak
dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi amukan badai, Han Ti Ong
berhasil menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya
dengan mencengkram dinding dan sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan
yang jauh lebih besar dari pada kekuatanya menyeret keluar dari istana dan
bahkan dari pulau itu!
"Kasihan sekali suhu..."
Sin Liong menghapus air matanya. Swat Hong mengepal tinjunya. "Aku
akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka Pulau Es,juga
menghukumnya! Dialah yang mencelakakan ibuku, yang mencelakakan Ayahku!"
Sin Liong menarik napas panjang. Sudah diduganya ini. Tentu akan terjadi
balas-membalas. Dendam tak kunjung habis!
"Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali
pusaka-pusaka itu...."
"Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!"
Swat Hong berseru penuh semangat.
"Dan Bu Ong... hemm,apa pula artinya ini? Bukan putera ayah?"
"Sumoi, tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan
ayahmu saja yang tahu akan nasib wanita itu, nasib yang amat buruk dan
mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum
ditolong ayahmu?"
Sin Liong lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena
dua belas orang suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis
yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara
mayat para suhengnya.
"Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa Bu Ong
adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa
oleh pembunuh dua belas orang anak murid Bu-tongpai itu, sehingga anak yang
dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong yang memperkosanya dan
membunuh para suhengnya."
Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya, Swat
Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel.
"Yang berbuat jahat kepadanya adalah Raja Pengemis itu, mengapa dia
membalasnya kepada ibu? Dan dia telah menghancurkan penghidupan
Ayah. Betapapun juga, aku harus mencarinya dan membalaskan sakit hati ibu
dan Ayah."
Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan
menimbulkan pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk
selalu mendamping sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini, juga kalau
perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan dendam. Betapapun
juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah bunda,
tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah satu-satunya orang yang
patut melindunginya, sebagai suhengnya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong
tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal perjodohan itu
diserahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya
mengajaknya meninggalkan Pulau Es yang telah kosong itu, untuk mencari ibunya,
dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke daratan besar mencari The
Kwat Lin. [bersambung]
INFO BISNIS ONLINE
INILAH BISNIS
PULSA PALING MENGUNTUNGKAN MINGGU INI!
GRATIS 100% !
Jadikanlah HP Anda PENCETAK UANG terdasyat yang akan membanjiri rekening
Anda setiap bulan. Daptkan pasif income Rp. 3 Milyar dan bonus senilai total Rp
275 juta.
Jika Anda tertarik dengan informasi ini atau ingin bergabung bersama
kami, silahkan klik link ini :